Arief Budiman Menantang Soeharto

oleh Hadidjojo Nitimihardjo, ditulis dengan judul “Yang Saya Ingat Tentang Arief Budiman” (2021).

Yang Saya Ingat tentang Arief Budiman (1)

Awalnya tentu kenal Hok-gie (Soe) dulu. Awal tahun ’69, mahasiswa Fakultas Sastra (FS) Universitas Indonesia (UI) naik Gunung Gede via Gunung Rumpang. Badil (Rudy) ajak saya karena banyak cewe ikut, perlu dibantu, katanya. Itulah pertama kali kenal Hok-gie. Cewe Sastra yang, saya ingat, ikut Retno Sukardan.

Terus Hok-gie sering diajak Badil ke rumah saya. Karena saya tinggal di paviliun, jadi bebas. Hok-gie lihat banyak buku dan tahu kalau saya suka baca. Dia tawarin kalau kakak perempuannya kerja di USIS di perpustakaan. Kalo perlu buku datang saja. Saya datengin kakaknya, kantornya di Jl. Merdeka Utara dekat Jl. Majapahit (sekarang sudah jadi Sekretariat Negara semua). Buku yang saya cari tentang naik gunung dan petualangan. Kakak Hok-gie orangnya gemuk baik sekali (namanya lupa). Ternyata buku yang saya mau pinjam semuanya langsung dia stempel seraya berbisik , “gak usah dikembalikan”. Wah ini perkawanan model Hok-gie, pikir saya. Salah satu buku itu judulnya No Picnic on Mount Kenya karangan Felice Benuzzi.

Badil sering nge-drop Hok-gie dan habis ngobrol baru dia ke bioskop Menteng cari becak buat ke Jl. Proklamasi, nyambangin pacarnya (Luki Bekti, anak FS jurusan Prancis).

Ketika mau ke Semeru, Badil mau pinjam dua tenda dan semua peralatan saya. Saya tolak karena dia gak tertib. Jadilah Hok-gie yang pinjam. Herman Lantang pasti ingat karena setahun setelah itu kami naik Semeru  dan kedua tenda bersejarah itu dibawa.

Suatu hari, Hok-gie bilang bahwa ayah saya, dulu tahun 1948, ketemu Moeso (tokoh PKI) dua kali sebelum Pemberontakan Madiun. Ketika saya tanyakan ke ayah, beliau balik tanya, “Tahu dari mana dia?”

“Dia baca semua surat kabar waktu dulu.”

“Akh gak betul yang masuk koran cuma satu. Pasti yang kedua tahunya dari orang PKI.“

Ketika saya sampaikan balik, Hok-gie ketawa, “Bapak mu teliti, ntar balik dari Semeru boleh ya gue tanya-tanya.” Jadilah dengan bokap Hok-gie gak pernah ngobrol. Lain dengan ibu saya yang semua teman saya diajak ngobrol. Ibu saya bilang, “Teman mu yang kurus itu pintar dan menyenangkan.”

“Kalo yang gemuk gimana?”

“Oh yang itu gembul, makannya kuat.”

(Ternyata pernah juga disebut Badil di majalah Femina. Kita bertiga, Don Hasman, bersahabat 30 tahun).

Setelah Hok-gie tewas, Hok Djin (abangnya Hok-gie) berubah drastis. Ia seolah-olah punya panggilan untuk meneruskan aktivitas Hok-gie. Sementara itu apa yang dikerjakan adiknya dia kurang paham betul. Jadilah Badil jadi tempat bertanya Hok Djin. Badil lalu ajak saya karena kalo soal politik macam-macam, saya bisa berdebat lama dengan Hok-gie. Sampai satu saat Hok-gie bilang saya intel (Bakin) karena banyak tahu. Saya bilang saya banyak tahu karena anak Menteng banyak tahu. Lain dong sama anak Sawah Besar. Dia nyengir saja. (Ternyata dia sebut saya sekali di bukunya. Seraya sebutan Bakin. Untung bagian itu tidak dimasukan).

Jadilah Badil dan saya sering ke Kebayoran Baru ke paviliun sewaannya Arief dan istrinya, Leila (Seingat saya sekitar Jl. Bintara/Jl. Wolter Monginsidi). Kita datang sore karena Badil janjiannya biasanya sore. Ternyata baru ketahuan, Leila punya kakak lelaki yang sayang betul sama dia. Sore hari sang kakak datang sambil bawa makanan, entah sate atau martabak dan lainnya. Nah tentang sang kakaknya Hok-gie, Leila ini ada cerita sendiri. Nanti diceritakan di akhir saja.

Arief ternyata menyukai matematika. Ia bilang tadinya mau ke Matematika ITB karena di Jakarta belum ada (FIPIA UI baru berdiri 1961). Dia menganjurkan saya baca bukunya Russell (Sir Bernard Russell, ahli filsafat matematika pendukung sosialis yang sering disitir Bung Karno).

Setelah ngobrol banyak baru kita tahu bahwa Arief, kendati bicaranya datar dan suaranya agak ketus, pengetahuannya  lebih luas dari Hok-gie. Hanya Hok-gie memang kalo bicara antusiasnya tinggi.

Ketika Arief tanya apakah ada yang mau meneruskan aktivitas politiknya Hok-gie, maka disampaikan kita sedang menggodoknya di Gubug Gledek. Gubug Gledek itu gubug dari bambu beralas tanah, berdinding gedek. Lokasinya di dalam Kebun Raya Cibodas di ujung jalan keluar ke arah Gunung Putri. Yang bangun Mas Kliwon dengan dana dari Aristides Katoppo dan Henk Tombokan.

Kita cerita ke Arief gerakan y.a.d kita akan pakai mahasiswa, jadi Arief di belakang saja karena dia sudah lulus. Tapi tampaknya Arief ingin betul aktif. Kita ceritakan juga sikon di UI saat itu adanya KKK UI, 17 anggota MPM UI yang tidak mengakui DMUI. Sementara HMI UI marah terhadap Hok-gie yang menulis di Indonesia Raya, “Wajah UI yang bopeng sebelah”.

Bagian di bawah ini tentang “Mahasiswa Menggugat”. Saya coba untuk mengingat ingat lagi siapa saja yang masih hidup yang masih ingat tentang awal dari pembentukan dan awal aktivitasnya.

Belum lama ada kontak dengan Opa Harry Viktor (adiknya Herlina, Pending Emas) saat itu mahasiswa senior di Psikologi UI, sekarang tinggal di Cimahi. Wartawan yang aktif ikut Yosi Katoppo (adik Aristides Katoppo) yang sekarang tinggal di Amerika Serikat.

Wartawan yang lain yang saat itu ikutan, seingat saya, antara lain Panda Nababan (mantan anggota DPR, politisi PDIP) dan Azkarmain Zaini (Emen) sekarang masih aktif di TV One sebelumnya di Kompas. Mahasiswa Menggugat ketika awalnya demo, lebih banyak wartawannya dari mahasiswanya. Ujungnya wartawannya terinspirasi jadi ikut demo… hehehe.

Yang Saya Ingat tentang Arief Budiman (2)

Di Gubuk Gledek (GG) yang sering kumpul saat itu senior SHMC atau Imada (pendaki gunungnya Sabha Mandala). Tapi saya plesetin MMC, Manado Mountaineering Club. Sebab ada Tides dan Yosi Katoppo, Boeli Londa, Wolly Ngantung, Charlie Luntungan, dan Ben Mamoto. Herman Lantang dan Hendrie Walandouw gak ikutan di situ karena gelombang nya lain, gak cocok seperti FM sama AM. Arief kenal dengan semuanya karena mereka semua teman Soe Hok-gie, terlebih Boeli Londa. Tapi Arief cocoknya sama Tides. Opa Ben Mamoto kendati sama-sama sama Fakultas Psikologi UI kurang cocok. Arief anggap Ben terlalu santai.

Singkat cerita gerakan yang kita buat gerakan moral. Saya dan Badil diminta yang mengatur karena cuma kita berdua mahasiswa yang aktif kuliah.

Seingat saya nama MM, Mahasiswa Menggugat , yang mengusulkan Ben Mamoto. Ikut pidato BK di Pengadilan Bandung, Indonesia Menggugat.

Gerakan perlu markas dan motor orang-orang yang menjalankan. Badil usul di FS UI Rawamangun, Ben usul di F.Psi. Saya bilang di F.Psi saja karena saya tinggal menyeberang. Kuliah saya di Lembaga Eijkman. Kita datang ke F.Psi ketemu dengan Sartono Mukadis (Tono). Tono setahun di atas saya di SMP Negeri 1 Cikini Raya. Badil kenal Tono di Imada. Tono bilang boleh saja, tapi harus kulo nuwun dulu sama senior. Kita dikenalkan dengan Harry Viktor yang julukannya Opa juga. Harry setuju maka mulailah kita kerja. Segera pernyataan dibuat juga, pamflet dan lain-lain. Arief mengoreksi dan menambahkan banyak. Ketika baca, kata Tides ini sih Arief bingits. Pernyataan dan pamflet perlu distensil, dibuat banyak. Perlu duit. Kebetulan kantornya Henk Tombokan di Jl. Indramayu seberang rumah saya. Ia jadi direktur perusahaan timber HPH. Jatah dari Orde Baru untuk orang-orang eks Permesta. Tono orangnya gak banyak omong kerjaan beres. Utun Leman segera mendistribusikan ke koran-koran. Besoknya mulai sedikit heboh karena dimuat di Indonesia Raya, Kompas, sorenya di Sinar Harapan. Isi pernyataan adalah tentang perlunya pemerintahan yang bersih dan jangan mengulang kesalahan Orde Lama. Mahasiswa tak perlu duduk di DPR. Mahasiswa harus ke depan, harus menjadi pemimpin yang profesional di semua bidang dan tak boleh tergoda untuk duduk di lembaga politik. Mahasiswa diibaratkan koboy yang membasmi bandit di suatu daerah. Ketika banditnya kalah, koboy tak boleh berkuasa di daerah itu. Mereka harus pergi mengejar cita-citanya. Kurang lebihnya seperti di film Shane.

Ide ini awalnya dari Hok-gie dan waktu diobrolin, Badil gak setuju.  Sebelum pergi Shane harusnya “sepukul dua pukul dulu dengan sang janda yang cantik”. Hok-gie bilang orang Amerika itu masalah moral nomor satu. Jadi buat film pun harus begitu, kendati kenyataannya bisa lain.

MM merencanakan buat demo. Dibuat rapat dipimpin Opa Harry Viktor. Tiba-tiba peserta rapat jadi banyak. Ada yang saya kenal anak GMD, Imada, atau Laskar ARH. Tapi banyak juga yang tak jelas. Harry Viktor minta saya yang bertanggung jawab memimpin demo tampaknya atas usul Opa Ben. Di muka rapat saya tolak, namun pada harinya saya janji pimpin. Demo pertama itu ke Bappenas. Arief kasih dana dari kantongnya ke Utun untuk buat kurung batang. Jadilah Utun bersama tiga wartawan menggotong kurung batang dengan kain hitam, menandakan matinya demokrasi.

Ketika mau berangkat, muncul Ciil (Syahrir) naik skuter. Ketemu Ben dan tanya apa dia boleh ikut. Ben tunjuk saya, “tuh tanya dia.” Ciil nyengir, karena ketika KKK kita sering nongkrong di kantin FT UI bertemu Indrajit dan Djoko Hartanto, senior saya di SMA 3 Teladan.

Kita jalan kaki dari depan RSCM tempat F.Psi UI ke Jl. Imam Bonjol. Sepanjang jalan bagi-bagi pernyataan dan pamflet. Di muka rumah Jenderal Sugandi (MKGR) Jl. Diponegoro pojok Jl Surabaya, penjaganya tanya. “Pak yang mati siapa kok kainnya hitam. Biasanya kan hijau ?”

Di Bappenas telah menunggu Dr. Emil Salim, jabatannya ketika itu Kepala Biro. Arief segera maju diikuti oleh Ciil. Juru foto tiba-tiba saja sudah mengerumuni mereka bertiga. Seingat saya Harry Kawilarang dan Bernadus (Sinar Harapan), Yus Sumadipraja (Indonesia Raya), dan Kris Kelana (Kompas), lainnya saya tidak kenal.

Dalam perjalanan pulang, para wartawan manas-manasin Badil dan saya. “Arief sudah bukan mahasiswa lagi, kalian dong yang maju.”

Saya kesal juga. Saya kecewa karena yang terima cuma Kepala Biro. Saya bilang kalau saya yang maju, harus menteri yang terima.

Wartawan tanya, “Memang menteri mana yang mau terima kamu?”

“Menteri Penerangan”, saya jawab cepat.

“Pasti, ya,” balas mereka.

Berita MM di Bappenas segera masuk koran. Dunia kang-ouw gempar. Tiba-tiba saja Jopie Lasut ngajak makan di Hotel Kartika Plaza. Tempat Ibu Tien Soeharto biasa main bowling. Ia berkantor di sana.

Rapat di F.Psi makin banyak orang. Ormas mahasiswa semua hadir. Entah siapa yang mengundang, tapi mereka selalu tahu kapan pertemuan.

Yang Saya Ingat tentang Arief Budiman (3)

Singkatnya, MM bisa jumpa dengan Menteri Penerangan, Boediardjo. Saya minta jasa baik Bpk. Brigjen Harsono Rekso Samudro, tetangga di Jl. Indramayu yang menjabat sekjen atau dirjen di Departemen Penerangan. Anak tertuanya dan nomor dua adalah teman saya dari kecil. Saya sering nongkrong di rumah beliau.

Merdeka Barat sedang di renovasi jadi kantor Pak Boed sementara di Kebon Sirih arah Jl. Abdul Muis. Kita putuskan mahasiswa yang ikut. Badil gak jadi ikut, ia diganti anak Imada yang rumahnya di Boplo. Mungkin dia gak enak sama Arief. Saat akan masuk ruangan, muncul Julius Usman dengan temannya anak Ambon. Dia bisik, “Yopie Lasut bilang lu setuju gue ikut.”

Ruang tamu menteri besar sekali, makanan kecil melimpah. Saya bisik ke anak Imada, “tuh begini dong dihormat kita.” Di Bappenas cuma diterima di Lobi sama Kepala Biro (Tak terpikir nasib selanjutnya Pak Emil Salim jadi menteri puluhan tahun).

Pak Boed ramah sekali. Beliau bilang tak usah cerita gugat menggugat, saya sudah baca di koran dan terima laporan. Kalian belajar yang baik agar bisa mengganti kita-kita yang ilmunya terbatas. Seterusnya kita bicara macam macam. Ngalor ngidul, cerita lucu. Sampai dalam konteks keberanian. Julius Usman nyeletuk, “Bapak sebagai pejabat, maaf ya, pasti takut dengan Pak Harto. Pak Harto yang mengangkat Bapak. Kalau kita tidak takut dengan Pak Harto.” Pak Boed mendelik. Disambung Yulius, “Karena kita yang menjadikan Pak Harto Presiden.” Pak Boed tertawa terpingkal-pingkal. Nanti kalau ketemu Pak Harto akan saya ceritakan yang kalian bilang.

Keluar dari ruang menteri ke lobi kita terkejut. Di depan sudah ada seratus anak-anak SMP celana pendek  dan aparat lengkap garnizun. Julius kabur cepat dilindungi anak-anak SMP. Saya dan anak  Imada langsung dipegang masing-masing dua orang dan diseret ke mobil bak yang ada tempat duduknya. Ketika lihat yang menangkap, ternyata dia hadir di rapat-rapat di F. Psikologi UI. Kita dibawa gak jauh ke Jl. Budi Kemuliaan, Kodim Jakarta Pusat.

Saya langsung dibawa ke ruang komandan. Anak Imada sudah pisah. Komandan sedang membaca kertas dia bolak-balik, tapi ekor matanya melihat saya. “Kamu komandan Mahasiswa Menggugat ya?” suaranya keras. Tiba-tiba dia bangkit menghampiri, sementara saya otomatis mencoba membaca tag namanya. Ketika terbaca A. Fattah tangan kirinya sudah mendarat keras di pipi kanan, disambung jidat saya diketok kepalan jari tangan kanannya. “Bapak lu tahu gak kerjaan lu?” tanya dengan keras. Baru saya ingat wajah dan kumisnya. Ia beberapa kali pernah ke rumah bertemu ayah saya. Dia rupanya ingat karena saya yang bikinin kopi.

Ayah saya tahun ‘45 mendirikan Laskar Rakyat. Ada seorang pemuda Arab, Achmad, ikut berjuang. Karena kemudian ia ikut Partai Murba, Arab Jakarta memanggilnya Achmad Murba atau Mat Murba. Ia tetap menjalin hubungan dengan teman yang masih aktif di militer. Mat Murba akalnya banyak. Kalau teman militer itu sulit ketemu Adam Malik, maka ia bilang ayah saya perlu ketemu Bung Adam. Ketika Bung Adam ke rumah, perwira-perwira itu sudah ada. Mereka antara lain Churmain, Sanip, Brata, dan Fattah.

Saya jawab ke komandan, “…Gak tahu Oom.” Dia memandang saya lalu bilang, “Lima menit lagi kamu keluar, ke belakang. Lewat samping keluar ke depan. Jangan nengok nengok.” Saya ikuti arahannya. Di luar saya naik becak pulang. Di rumah cape, tidur.

Besoknya saya ke F.Psi ketemu Opa Ben dan Yosi. “Lu ke mana saja? Markas Kodim gempar. Dua jam markas di aduk-aduk ke WC sampai naik ke loteng, lu ngilang.” Saya awalnya nyengar-nyengir saja, namun ketika mau omong ternyata intel yang nangkep ada di ruangan itu.

Yosi nambahin, “…intel orang Menado temen gue bilang kalau itu anak ketangkep gue bawa ke Guntur. Pantatnya gue masukin botol.” Akhirnya saya bilang, “Gue kan orang Cirebon, kalo kepepet ada bacaannya. Surat Yasin ayat 9. Dibaca tiga kali orang gak bisa lihat kita.”

Besok sore si intel datang ke rumah, jemput disuruh bawa handuk sabun dan sikat gigi. Ketika saya bilang mau belajar buat ujian besok. Dia jawab, “Bawa saja buku nya. Besok subuh bisa pulang.” Di jalan dia bilang, “Komandan gak enak, pokoknya tiap malam kamu datang lapor. Jadi kalo garnizun datang, kamu ada.” Begitulah tiap hari seolah-olah biasa saja, saya bisa ke kampus dan ke F.Psi, namun habis magrib ke Budi Kemuliaan. Makan malam selalu tersedia dan melimpah, apalagi kalo garnizun datang. Saya akhirnya akrab dengan garnizun terutama yang dari KKO.

Sekitar seminggu wajib lapor itu. Akhirnya saya gak usah datang lagi. Hubungan dengan Pak Fattah selanjutnya baik, apalagi ketika beliau jadi Bupati Bekasi dua periode. Saya pernah ditawari rumah Perumnas di ujung Kalimalang.

Sementara itu dunia kang-ouw bergejolak. Semua organisasi  bikin aktivitas bermacam-macam. Tiap kegiatan, saya selalu diundang dan kadang dijemput.

Akhirnya Laskar ARH membentuk KAK, Komite Anti Korupsi, lebih gegap-gempita karena tampaknya dananya tak terbatas. Mereka membuat acaranya di Kramat Raya di Asramanya yang di samping Gedung Kowad. Saya dijemput senior saya, mahasiswa jurusan kimia, Mirzan Razak dan temannya Arifin yang jago boksen. Kita makan nasi goreng pete yang enak depan Pasar Paseban. Akhirnya Mirzan bilang terus terang, bagaimana mau antikorupsi Laskar ARH itu yang menghidupi Bulog dan Pertamina. Jadi dibikin buat mengkerdilkan MM. Pemerintah takut sama MM. “Joy (panggilan akrab saya), lu sama teman-teman lu susah diatur.”

Acara KAK yang meriah di rekam TV juga dipenuhi oleh intel. Kita duduk manis saja. Koran-koran yang ramai itu berujung pada komentar balik Pak Harto bahwa beliau siap menerima masukan dari semua pihak. Dan perlu komunikasi dua arah di mana beliau bersedia menyediakan waktu untuk berdiskusi. Ditetapkan kalau perlu setiap Sabtu.

Tiap kelompok menunggu apa yang akan terjadi. Surprise ternyata pihak Pak Harto pertama kali meminta pihak MM. Ini tentu tidak menyenangkan banyak pihak. Akhirnya diputuskan yang akan dihadirkan wakil dari beberapa pihak.

Yang Saya Ingat tentang Arief Budiman (4)

Yang mengatur dari pihak Pak Harto itu Kolonel CPM Soeroso. Saya gak ingat jabatannya, tapi pasti orang dalam saat itu.

(Ternyata putra-putri nya dekat putra-putri Pak Harto. Putra tertuanya, Bambang, menikah dengan Iin anak FISIP UI yang sering ikut Mapala naik gunung. Saya ingat Bambang menjemput Iin di Gunung Putri pas kita turun dari Gunung Gede)

Kita diminta lima nama. Jadi tinggal empat nama saja. Yopie Lasut biasa main “tap” saja. Alasannya macam-macam. Ujungnya bilang mewakili GMKI. Ini repot karena ormas mahasiswa lain akan menuntut. HMI mewakilkan Marie Muhammad. Saya ngotot agar Arief harus ikut karena bukan saja merepresetasikan Hok-gie cum suis, tapi juga bukankah awal MM memberikan jalan agar Arief bisa terjun ke dunia abu-abu yang digeluti adiknya (alm).

Badil sangat tak setuju Arief dihadapkan langsung dengan Pak Harto. Alasannya Pak Harto-kan tidak kenal dekat sebelumnya dengan Arief. Lihat tampangnya, dan terus dengar suaranya, bisa gawat. Tapi toh Arief kita pilih juga. (Kelak apa yang dikhawatirkan Badil, benar terjadi).

Satu orang lagi saya benar-benar lupa. Akbar Tanjung saat baru reformasi mengatakan dia ikut dalam pertemuan itu. Namun tak mungkin karena Akbar Tanjung begitu terkenal untuk dilupakan. Fahmi Idris tidak (ia maunya khusus KAK saja). Lagi pula tak ada gunanya menerima KAK karena mereka sebenarnya dibentuk pemerintah sendiri. Mungkin KAK pertemuan yang berikut. Syahrir juga tak ikut. Mungkin dari Imada yang selalu setia mendukung MM.

Hari Sabtu yang ditentukan, kita sudah siap. Sayang ada sedikit salah paham. Rupanya Pak Harto minta pertemuan dimajukan 1 jam. Kita tidak diberitahu, sementara kita datang 1/2 jam lebih cepat. Jadi hitungannya kita telat 30 menit. Hanya memang sudah diberitahu Pak Harto akan ke Rawamangun, main golf. Salah paham ini belakangan ketahuan bahwa ada satu orang dalam lagi yang tidak bisa menghubungi kita untuk memberitahu dimajukannya acara. Namanya Pak Gideon.

Arief membawa map yang lumayan tebal. “Apaan tuh Rief?”

“Rahasia. Data korupsi Pertamina dari Bung Mochtar Lubis.”

Pak Harto dalam suasana santai. Kita diterima di ruang tamu yang ada dua gading gajah saling berhadapan. Pak Harto membuka dengan menyilakan kita bicara. “Ayo… Siapa mulai? Silahken.”

Marie Muhammad membuka dengan ucapan terima kasih atas kesempatan pertemuan. Seraya menyatakan bahwa kami beritikad baik agar negara dan bangsa lebih bersih menuju ke arah kemakmuran. Pak Harto menyambut baik kata pembuka Marie, lalu menyilahkan yang lain.

Di sini Arief masuk. Ia mengawalinya dengan amat baik. Arief menambahkan pernyataan Marie bahwa kemakmuran tidak bisa dicapai kalau masih saja ada korupsi. Juga harga-harga harus bisa dikontrol pemerintah, kenaikan harga bensin akan menyebabkan harga lain ikut naik. Ini memberatkan rakyat.

Kendati suara Arief seperti biasanya gak enak, namun Pak Harto terkesan. Beliau mengangguk-angguk membenarkan. Melihat bahasa badan Pak Harto, Arief mungkin salah kira.

Nah, setelah itu Arief bicara lebih cepat. Tentang jenderal-jenderal yang harus dikontrol Pak Harto karena (potensi) korupsi besar di Pertamina. Baik dalam jual beli minyak dan angkutan tanker-nya.

Pak Harto mukanya berubah, tegang dan merah. Tiba-tiba saja Pak Harto, masih dalam keadaan duduk tapi badannya maju, kedua tangannya memukul meja walau tidak keras. “Sudah… sudah cukup. Keluar… keluar.”

Kita semua bengong. Agak lama, namun segera Marie minta izin untuk meneguk teh. Tapi Pak Harto diam saja. Menandakan beliau tidak mau lagi melanjutkan percakapan. Data-data dari Arief ditinggal untuk dapat dipelajari oleh Pak Harto. Akhirnya kita keluar begitu saja.

Di luar saya merasa seperti mimpi dan saya pikir inilah akhir dari MM. Kita jalan ke arah Jl. Palem (arah rumah Nessy Rambitan). Di jalan segera kita putuskan hal ini (pengusiran) tak boleh bocor dan diketahui orang luar. Kita harus pegang janji.

Teman-teman yang tunggu dan wartawan di bundaran Teuku Umar kaget juga kok cepat sekali. Kita jelaskan bahwa Pak Harto menerima baik masukan kita dan siap menerima kita lain kesempatan. Pak Harto sudah ditunggu di lapangan golf.

Tiba-tiba kita lihat ada mobil jeep pengawal dan mobil mercy di belakangnya. Otomatis kita kasih tangan dadah. Mobil mercy melambat, kaca diturunkan, tampak Pak Harto pegang setir seraya tersenyum lebar. “Ada yang berteriak… Mau main golf, Pak?”

Pak Harto jawab, “Iya… iya.” Lalu sambil melambaikan tangan, beliau berteriak, “…Sukses ya.”

Waduuuhhh lega betul kita.

Yang Saya Ingat tentang Arief Budiman (5) Habis

Di satu majalah (kalau tidak salah Tempo) pernah ada foto Pak Harto di balik stir mobil mercy pakai kaos golf. Melihat itu, saya yakin itu foto diambil setelah peristiwa rombongan Mahasiswa Menggugat diusir.

Apakah setelah mengusir, Pak Harto marah terhadap Arief dkk? Sesaat setelah kita keluar, saya kira Pak Harto menyesal.  Karena beliau langsung buka jendela memberi salam.

Yang jelas, Pak Harto menyesalnya setelah bertahun kemudian, di mana data yang disampaikan Arief semuanya benar. Korupsi Pertamina terbongkar. Negara rugi amat besar. Jenderal Ibnu Sutowo dipecat.

Awal 1981, saya diajak Ramzy Tadjoedin bertemu Marie Muhammad yang saat itu di Departemen Keuangan menjabat sebagai direktur yang mengurus properti negara. Ramzy diminta sobatnya, pengusaha Abdul Latief (sesama anak Cideng), untuk pedekate ruilslag Kantor Pegadaian di Blok M, sementara Kantor Lurahnya sudah (Kemudian jadi Pasaraya).

Urusan sesama golkar (golongan keturunan Arab) cepat, 5 menit beres. Saya tanya masih ingat soal pengusiran? Beliau bilang Pak Harto pasti menyesal walau terlambat dan sekarang terima kasih. Kalau tidak kan gak mungkin saya di sini.

“Wah kalo begitu Abang bisa jadi menteri dong.”

Beliau tertawa lebar, “Aamiin… Aamiin.”

Baru 12 tahun kemudian Marie jadi menteri, setelah menjabat dirjen pajak. Pada saat bersamaan, kakak ipar Arief juga jadi menteri setelah sebelumnya menjadi sekjen dan menteri muda.

Kata orang bijak tak ada yang kebetulan di dunia ini. Apakah itu bentuk terima kasih Pak Harto untuk  Arief? Wallahualam. Kalau ada yang bilang sebaliknya, bahwa justru Pak Harto tidak tahu adanya hubungan itu, maka tidak mungkin. Zaman Orde Baru diibaratkan jarum jatuh pun tahu.

Pak Harto susah ditebak. Dengan Pak A.H. Nasution tampak dipermukaan bermusuhan. Tapi melalui Jenderal M.Jusuf, Pak Harto memberi order pembelian jeep ke Hasyim Ning di mana itu jatah untuk Pak Nas.

Suatu saat dua tahun lalu, Grace Tiwon kasih kabar bahwa kakaknya Sylvia yang tinggal di Amerika pergi ke Indonesia dan menjenguk Arief yang sakit di Salatiga.

Grace tanya, “Apa kamu dan Badil tak ingin menjenguk Arief?” Badil kondisinya pun tidak baik. Sementara saya terlihat dari luar saja yang oke, tapi harus ditopang bermacam obat.

Padahal dahulu tiap kesempatan, Arief selalu menyampaikan salam untuk saya. Melalui Th. Sumartana, Yopie Lasut, maupun Aristides Katoppo.

Kita berdua (saya dan Badil) senang karena sdh berhasil membawa Arief mengenalkan ke dalam dunia yang abu abu itu. Dan belakangan kita sepakat bahwa Mahasiswa Menggugat adalah hasil pertama Arief. Ia sendiri happy di dunia abu-abu setelah upaya kebudayaannya di Balai Budaya Jl. Gereja Theresia kurang berhasil. Ia pun bisa menilai orang yang dikiranya bisa menjadi sahabat, belakangan ternyata tidak.

Sementara Mapala UI terbentuk dan era Gubuk Gledek sirna berganti gelombang. Gelombang yang di bawa Hendrie dan Herman tidak ke politis, melainkan ke aktivitas prestasi kepecintaalaman, melakukan ekspedisi dan lain-lain. Tentu saja hal ini amat sangat didukung pemerintah. Orang-orang yang susah diatur pada satu kelompok bisa disalurkan. Bagi Arief sendiri tidak masalah. Ia dengan segera dapat menemukan teman-teman baru. Bang Buyung segera mengajaknya sehingga lahir Golongan Putih. Ajakan untuk tidak mencoblos, sindiran tajam (sarkastis) untuk Golongan Karya yang memaksa semua kelompok memilihnya.

Ketika Mapala UI merencanakan ekspedisi pendakian ke Irian Jaya, Arief membantu dengan dana awal dan mengusahakan banyak katabelece, baik dari Mochtar Lubis maupun lainnya.

Sementara garis Gubuk Gledek lainnya menyasar terus ke gerakan anti-Taman Mini, sampai terjadinya Malari. Markas F.Psi berganti ke FS UI. Pendukung gerakan bertambah, wartawan plus cewe-cewe FS UI.

Mapala UI sendiri menganeksasi Zaal A. Catatan ini sejak awal khusus Mapala UI. Agar tahu lah relasi gelombang yang pernah ada yang menyergap kita… hehehe. Ini pun gara gara Covid 19, WFH… bongkar-bongkar bebersih ketemu foto-foto, catatan kertas lepas.

Buat yang serius, adakah yang akan baca bila isi WA Group seperti dulu dengan Arief membahas kejahatan kapitalisme melalui Ralph Milliband, C. Wright Mills, Herbert Marcuse, atau Anthony Giddens.

Pasti sekarang sudah kuno karena bacaan sekarang  jauh lebih modern. Dulu ejekan untuk Arief c.s. orang yang itu-itu juga. Arief membalas masalahnya masih yang itu-itu juga.

Leave a comment

Design a site like this with WordPress.com
Get started